SuaraNetizen.com
- Shalawat dan shalat jamaah adalah dua “senjata” Achmad Masduqie
Machfudh tiap kali menerima aduan masalah dari masyarakat, ia selalu
berwasiat untuk membaca shalawat, minimal 1000 kali setiap hari dan
10.000 kali setiap malam Jum’at.
Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015 yang juga pendiri
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono Malang ini
memiliki pengalaman menarik tentang shalawat Nabi, tepatnya pada tahun
1956, saat ia masih duduk di sebuah SLTA di Yogjakarta.
Suatu ketika, ia mendapat gangguan jin di sebuah masjid
tempat belajarnya sehingga selama tiga hari Maduqie muda merasa ingin
banyak makan tapi anehnya tidak bisa buang hajat. Di hari ke empat,
tubuhnya pun sangat panas dan saat itu juga beliau berpesan kepada
adiknya.
“Dek, nanti kalau aku mati, tolong jangan bawa pulang
janazahku ke Jepara tetapi dikuburkan di Jogja saja,” pinta kiai yang
wafat pada 1 Maret 2014 ini kepada sang adik. Kiai Masduqie datang ke
Jogja berniat untuk mondok. Beliau khawatir syahidnya hilang jika wafat
di Jogja namun jenazahnya dimakamkan di Jepara.
Sontak saja adiknya semakin khawatir kondisinya. Maka
diajaklah sang kakak menemui seorang seorang kiai. “Mari kita pergi ke
kiai itu, kiai yang Mas biasa ngaji di hari Ahad.”
Kiai Masduqie menerima ajakan adiknya. Pergilah beliau
bersama adiknya dengan naik becak dan sampai di rumah pak kiai yang di
maksud pada pukul satu malam. Ketika beliau datang, pintu rumah Pak Kiai
masih terbuka. Tentu tengah malam itu sang tuan rumah sudah tidak
melayani tamu, karena sejak pukul 10 malam adalah waktu khusus Pak Kiai
untuk ibadah kepada Allah. Karena melihat Masduqie muda yang datang di
tengah malam dengan keadaan payah, kiai pun mempersilahkan Masduqie muda
beristirahat di rumah.
Masduqie muda pun tertidur di rumah kiai itu. Baru beberapa
jam di rumah kiai, tepatnya pukul 3 malam, beliau terbangun karena
merasa mulas ingin buang hajat. Setelah itu, rasa sakit dan panas yang
dirasakan sedikit hilang.
Pada pagi harinya, beliau yang masih panas badannya bertemu
dengan Pak Kiai. “Pak Kiai, saya sakit”. Bukannya merasa iba, Pak Kiai
hanya tersenyum. Dan anehnya, rasa panas yang beliau rasakan hilang
seketika itu.
Pak Kiai dawuh, “Mas, sampean gendeng mas.”
“Kenapa gendeng, Yai?” tanya Masduqie muda.
“Iya, wong bukan penyakit dokter, sampean kok bawa ke
dokter, ya uang sampean habis. Pokoknya kalau sampean kepengin sembuh,
sampean tidak boleh pegang kitab apapun,” jawab kiai.
Jangankan membaca, menyentuh saja tidak diperbolehkan.
Padahal pada saat itu, Masduqie muda dua bulan lagi akan mengikuti ujian
akhir sekolah.
“Yai, dua bulan lagi saya ujian, kok enggak boleh pegang buku,” Masduqie muda matur kepada Pak Kiai.
Seketika itu Pak Kiai menanggapinya dengan marah-marah, “Yang bikin kamu lulus itu gurumu? Apa bapakmu? Apa mbahmu?”
Masduqie muda menjawab, “Pada hakikatnya Allah, Yai.”
“Lha iya gitu!” timpal Pak Kiai.
“Lalu bagaimana syariatnya (upaya yang dilakukan), Yai?” tanya Masdqie muda lagi.
“Tiap hari, kamu harus baca shalawat yang banyak,” jawab, Pak Kiai.
Masduqie muda kembali bertanya, “Banyak itu berapa, Yai?”
Pak Kiai pun menjawab, “Ya paling sedikit seribu, habis
baca 1000 shalawat, minta ‘dengan berkat shalawat yang saya baca, saya
minta lulus ujian dengan nilai bagus’.”
Ya sudah, Masduqie muda tidak berani pegang kitab maupun
buku, karena memang ingin sembuh. Mendengar cerita dari Masduqie muda,
Paman beliau marah-marah. “Bagaimana kamu ini? Dari Jepara ke sini, kamu
kok nggak belajar?” Masduqie muda tidak berani komentar apa-apa. Karena
beliau menuruti dawuh kiai untuk tidak menyentuh kitab atau buku,
beliau nurut saja.
Menjelang beliau ujian, pelajaran bahasa Jerman, bukunya
ternyata diganti oleh gurunya dengan buku yang baru. Karena masih
dilarang menyentuh buku, maka beliau tetap taat titah kiai.
Setelah ujian, Masduqie muda dipanggil guru bahasa Jerman.
Pak Guru : Kamu her.
Masduqie : Berapa nilai saya pak?
Pak Guru : Tiga!
Masduqie : Iya, Pak. Kapan, Pak?
Pak Guru : Seminggu lagi
Namun setelah seminggu, Masduqie muda tidak langsung
mendatangi guru bahasa Jerman, karena larangan pegang buku belum
selesai. Baru setelah selesai, Masduqie muda mendatangi Pak Guru.
Masduqie : Pak, saya minta ujian, Pak.
Pak Guru : Ujian apa?
Masduqie : Ya ujian bahasa Jerman, Pak.
Pak Guru : Lha kamu bodoh apa?
Masduqie : Lho kenapa, Pak?
Pak Guru : Nilai delapan kok minta ujian lagi. Kamu itu minta nilai berapa?
Masduqie : Lho, ya sudah Pak, barang kali bisa nilai sepuluh.
Dari nilai angka 3, karena shalawat, mingkem menjadi angka
8. Setelah itu, beliau tidak pernah meninggalkan baca shalawat. Itulah
satu pengalaman shalawat KH Masduqie Mahfudz saat muda.
WASILAH UNTUK ATASI PENYAKIT DAN KESULITAN
Pengalaman shalawat beliau lagi, yakni ketika Kiai Masduqie
harus melaksanakan dinas dinas di Tarakan, Kalimantan Timur. Pada suatu
hari, ada tamu pukul 5 sore, dan bilang ke Kiai Masduqie, “Saya disuruh
oleh ibu, disuruh minta air tawar.”
Kiai Masduqie mengaku masih bodoh saat itu. Seketika itu ia
menjawab, “Ya, silakan ambil saja, air tawar. kan banyak itu di
ledeng-ledeng itu.”
“Bukan itu, Pak. Air tawar yang dibacakan doa-doa untuk orang sakit itu, Pak,” kata si tamu.
“O, kalau itu ya tidak bisa sekarang. Ambilnya harus besok habis shalat shubuh persis.”
Kiai Masduqie menjawab begitu karena beliau ingin bertanya
kepada sang istri perihal abah mertua yang sering nyuwuk-nyuwuk (membaca
doa untuk mengobati) dan ingin tahu apa yang dirapalkan. Ternyata istri
beliau tidak tahu tentang doa yang dibaca abahnya di rumah. Padahal
Kiai Masduqie sudah janji.
Habis isya’ saat beliau harus wiridan membaca dalail,
beliau menemukan hadits tentang shalawat. Inti hadits tersebut kurang
lebih, “Siapa yang baca shalawat sekali, Allah beri rahmat sepuluh. Baca
shalawat sepuluh, Allah beri rahmat seratus. Baca shalawat seratus,
Allah beri rahmat seribu. Tidak ada orang yang baca shalawat seribu,
kecuali Allah mengabulkan permintaanya.”
Setelah mencari di berbagai kitab, ketemulah hadits
tersebut sebagai jawabannya. Lalu belaiu pun bangun di tengah malam,
mengambil air wudlu dan air segelas, setelah itu membaca shalawat seribu
kali. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinâ Muhammad.
Setelah beliau selesai membaca seribu shalawat, beliau
berdoa, ”Allahumaj’al hadzal ma’ dawâ-an liman syarabahu min jamî’il
amrâdh”. Arti doa tersebut, “Ya allah, jadikanlah air ini sebagai obat
dari segala penyakit bagi peminumnya”. Lalu meniupkan ke air gelas dan
baca shalawat satu kali lagi. Di pagi hari, diberikanlah air tersebut
kepada orang yang memintanya.
Setelah tiga hari, ada berita dari orang tersebut bahwa si
penderita penyakit sudah sembuh setelah meminum air dari Kiai Masduqie.
Padahal, sakitnya sudah empat bulan dan belum ada obat yang bisa
menyembuhkan. Dokter pun sudah tidak sanggup menangani penyakit yang
diderita orang ini dan menyarankan untuk mencari obat di luar. Anehnya,
pemberi kabar itu mengatakan bahwa Kiai Masduqie selama tiga hari itu
mengelus-elus perut orang yang sakit.
Mengelus-ngelus perut? Tentu saja tidak, apalagi si
penderita penyakit adalah perempuan yang bukan mahramnya. Hal itu juga
mustahil karena Kiai Masduqie selama tiga hari di rumah saja. Berkat
shalawat, atas izin Allah penyakitnya sembuh.
Sejak peristiwa itu di Kalimantan timur Kiai Masduqie
terkenal sebagai guru agama yang pintar nyuwuk. Sampai penyakit apa saja
bisa disembuhkan. Jika beliau tidak membacakan shalawat, ya istri
beliau mengambilkan air jeding, yang sudah dipakai untuk wudlu. Ya
sembuh juga penyakitnya. Inilah pengalaman shalawat Kiai Masduqie ketika
dinas di Kalimantan.
Cerita lain, suatu ketika beliau harus ke Samarinda dengaan
naik kapal pribadi milik Gubernur Aji Pangeran Tenggung Pranoto. Dalam
pertengahan perjalanan melalui laut, tepatnya di Tanjung Makaliat kapal
yang diinaikinya terkena angin puting beliung. Maka goyang-goyanglah
kapal tersebut. Kiai Masduqie sadar, berwudlu, lalu naik ke atas kapal.
Beliau ajak para awak kapal untuk mengumandangkan adzan agar malaikat
pengembus angin dahsyat tersebut berhenti. Lalu berhentilah angin
tersebut. Inilah salah satu pengalaman shalawat Kiai Masduqie.
“Kalau ada orang menderita penyakit aneh-aneh, datang ke
Mergosono, insya Allah saya bacakan shalawat seribu kali. Kalau ndak
mempan sepuluh ribu kali, insyaallah qabul,” kata Kiai Masduqie saat
pengajian di Majelis Riyadul Jannah.
“Berkat shalawat Nabi, sampean tahu sekarang, saya bangun
pondok sampai tingkat tiga, nggak pernah minta sokongan dana masyarakat,
mengedarkan edaran, proposal nggak pernah. Modalnya hanya shalawat
saja. Uang yang datang ya ada juga, tapi nggak habis-habis. Itu berkat
shalawat,” lanjut Kiai Masduqie dalam pengajiannya.
Kisah lainnya, suatu ketika, seorang bidan mengadu kepada
Kiai Masduqie tentang suaminya yang pergi meninggalkannya karena
terpikat dengan wanita lain. Ia berharap suaminya bisa kembali. Abah,
demikian para santrinya menyapa, menjawab bidang tersebut dengan tegas
menganjurkan untuk baca shalawat. Bidan pun secara istiqamah
mengamalkannya, dan dalam selang beberapa lama suaminya kembali seraya
bertobat.
Kiai Masduqie memiliki sembilan putra/putri ini yang di
samping sarjana juga bisa membaca kitab semua. Saat anak beliau ada yang
mau ujian, di samping putranya juga disuruh baca shalawat, belaiu juga
membacakan shalawat untuk kelancaran dan kesuksesan putra-putrinya.
Kiai Masduqie pernah dawuh, ”Berkat shalawat Nabi SAW,
semua yang saya inginkan belum ada yang tidak dituruti oleh Allah. Belum
ada permintaan yang tidak dituruti berkat shalawat Nabi. Semua
permintaan saya terpenuhi berkat shalawat”.
Shallu ‘alan Nabi Muhammad! Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.
Indirijal Lutofa, Santri Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono, Malang dan mahasiswa
Fakultas Syari’ah UIN Malang. Kisah ini diperoleh pendengaran langsung
penuturan Kiai Masduqie saat memberikan penggajian di Majlis Ta'liim wal
Maulid Riyadhul Jannnah Malang, Jawa Timur dan kisah yang dituturkan
putranya. © NU Online.
ConversionConversion EmoticonEmoticon